Suarademokrasi.co.id, Jakarta, 10 September 2025 – Penulis dan pengamat energi, M. Kholid Syeirazi, resmi meluncurkan buku terbarunya berjudul “Senjakala Industri Migas? Migas & Pembangunan Indonesia, 1899–2023”. Buku ini mengulas secara komprehensif perjalanan panjang industri minyak dan gas (migas) di Indonesia selama lebih dari satu abad, sekaligus menyoroti tantangan masa depan sektor energi nasional.
Dalam peluncuran yang digelar di Jakarta ini dihadiri oleh Edi Karyanto adalah Direktur Perencanaan Strategis, Portofolio, dan Komersial PT Pertamina Hulu Energi (PHE).
Penulis buku “Senjakala Industri Migas? Migas & Pembangunan Indonesia, 1899–2023”, M. Kholid Syeirazi, menilai perlunya rekonstruksi kelembagaan dan fiskal untuk membangkitkan kembali industri migas nasional yang dalam beberapa dekade terakhir mengalami penurunan.
“Buku ini saya hadirkan sebagai kontribusi atas pertumbuhan dan perkembangan industri migas di Indonesia. Kondisi migas kita saat ini memang menurun, sehingga diperlukan langkah reformulasi desain kelembagaan dan fiskal agar target produksi dapat tercapai,” ujar Kholid dalam peluncuran bukunya, di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (10/9/25).
Menurutnya, target pemerintah untuk meningkatkan produksi minyak hingga 1 juta barel per hari (BPH) dan produksi gas sebesar 2 PSCFD hanya bisa tercapai jika pemerintah mampu memberikan kepastian hukum, kemudahan perizinan, serta kebijakan fiskal yang lebih fleksibel.
“Investor membutuhkan kepastian hukum, stabilitas, sekaligus fleksibilitas fiskal. Tanpa itu, Indonesia akan kalah bersaing dengan negara lain, apalagi di tengah tren transisi energi,” jelasnya.
Kholid juga menyinggung soal praktik mafia migas yang masih mewarnai rantai impor sejak Indonesia berstatus sebagai negara net importir minyak pada 2003. Menurutnya, rantai impor yang panjang membuka celah permainan aktor-aktor tertentu yang perlu diberantas.
“Selain itu, ia menekankan bahwa sektor migas tidak boleh ditinggalkan begitu saja dalam proses transisi energi. Gas bumi, kata dia, bisa menjadi jembatan menuju energi bersih yang lebih ramah lingkungan sebelum energi baru terbarukan (EBT) siap sepenuhnya.
“Kalau migas ditinggalkan sementara energi penggantinya belum tersedia, kita bisa menghadapi krisis. Gas bumi bisa menjadi penghubung antara energi fosil dan energi terbarukan,” pungkasnya. (L)