Suarademokrasi.co.id, Jakarta –Gelaran Gerakan Sadar Budaya yang berlangsung di kawasan Kota Tua, Jakarta, Minggu (26/10/2025), menjadi momentum penting kebangkitan kesadaran masyarakat Betawi dalam menjaga marwah budaya sekaligus melawan korupsi. Dalam acara yang dihadiri oleh para pelaku dan pegiat seni budaya Betawi itu, Ketua Umum YASBI (Yayasan Pelestarian dan Pengembangan Seni Budaya Indonesia) Jalih Pitoeng mengungkapkan bahwa Gerakan sadar budaya ini lahir dari kesadaran tinggi setelah terbongkarnya korupsi berjamaah di Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.
Menurut Jalih, inisiatif ini bukan sekadar kegiatan seremoni, tetapi bentuk nyata dari gerakan moral dan sosial budaya. Ia menegaskan bahwa Gerakan Sadar Budaya tercetus di tengah keterlibatannya dalam membongkar kasus dugaan korupsi ratusan miliar rupiah yang melibatkan pejabat di Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.
“Gerakan ini lahir dari pengalaman nyata. Ketika kami ikut berperan membongkar korupsi besar di Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, kami sadar bahwa budaya itu bukan hanya tentang tari dan musik, tapi juga tentang moral, kejujuran, dan tanggung jawab,” ujar Jalih Pitoeng di hadapan awak media dan komunitas seni budaya.
Pendiri sekaligus Ketua Umum FORMASI (Forum Aliansi Masyarakat Anti Korupsi) itu menegaskan bahwa dirinya ingin gerakan ini berlanjut sebagai estafet perjuangan dari generasi tua kepada generasi muda Betawi. Baginya, kebudayaan Betawi memiliki nilai-nilai luhur seperti kejujuran, solidaritas, dan keberanian melawan ketidakadilan—nilai yang kini harus dihidupkan kembali di tengah tantangan zaman modern.
“Saya kan sudah tua, maka saya berharap agar generasi muda Betawi, khususnya para pegiat dan pelaku seni budaya, melanjutkan perjuangan ini,” ujarnya penuh semangat.
“Alhamdulillah, ada Bang Panca, Bang Eki Pitung, dan Bang Bachtiar Pitung yang lebih memahami dunia seni budaya Betawi. Mereka bisa mengawal gerakan ini dari sisi kebudayaan, sementara saya dari sisi sosial politik dan pemberantasan korupsi,” lanjutnya.
Bagi Jalih, kesadaran budaya tidak cukup hanya diwujudkan dalam bentuk kesenian. Lebih dari itu, kesadaran budaya harus menjadi kekuatan moral untuk memperbaiki perilaku sosial dan birokrasi. Ia menegaskan bahwa protes dan kritik terhadap praktik korupsi harus dibarengi dengan tawaran solusi konkret.
“Kita bukan hanya protes dan mengkritisi, tapi kita juga harus memberi solusi,” tegas Jalih.
“Kesadaran ini tumbuh setelah terungkapnya kasus korupsi spektakuler di Dinas Kebudayaan DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Iwan Henry Wardhana, yang kini sedang dalam proses peradilan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.”
Sementara itu, Pelestari sekaligus Pelaku Seni Budaya Betawi, R. Panca Nur, mengungkapkan bahwa kegiatan ini merupakan lanjutan dari acara serupa yang sebelumnya digelar di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Ia menjelaskan bahwa Gerakan Sadar Budaya adalah wadah untuk menyatukan berbagai komunitas Betawi agar memiliki arah perjuangan yang sama: menjaga identitas budaya sambil menolak praktik penyimpangan yang menggerogoti moral masyarakat.
“Ini acara kedua setelah kami gelar di Jagakarsa beberapa bulan lalu. Kami ingin membangun kesadaran kolektif, bahwa budaya Betawi harus menjadi benteng moral bagi masyarakat Jakarta,” tutur Panca Nur.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Dewan Adat Bamus Betawi, Eki Pitung, juga menyampaikan pandangannya. Ia menilai bahwa korupsi di institusi yang mengurusi kebudayaan adalah bentuk penghianatan terhadap nilai-nilai luhur masyarakat Betawi sendiri. Karena itu, ia mendukung penuh Gerakan Sadar Budaya yang dipelopori oleh Jalih Pitoeng dan para tokoh lainnya.
“Kebudayaan Betawi mengajarkan nilai amanah, adab, dan tanggung jawab. Kalau pejabat yang mengurusi kebudayaan justru korup, berarti ada yang salah dalam cara kita memahami budaya,” kata Eki Pitung.
“Gerakan ini sangat penting untuk mengembalikan makna budaya sebagai moralitas, bukan sekadar hiburan,” tambahnya.
Gerakan Sadar Budaya yang lahir di tengah sorotan publik terhadap praktik korupsi di Dinas Kebudayaan DKI Jakarta ini mulai membentuk arus kesadaran baru di kalangan masyarakat Betawi. Para tokohnya tidak hanya bicara tentang pelestarian budaya, tetapi juga mengaitkan nilai-nilai budaya dengan perjuangan sosial dan politik yang bersih dan beretika.
Bagi Jalih Pitoeng, perjuangan melawan korupsi tidak bisa dipisahkan dari perjuangan membangun kesadaran budaya. Dalam pandangannya, bangsa yang berbudaya adalah bangsa yang menolak penyimpangan dan menjunjung tinggi nilai kejujuran.
“Kita harus sadar bahwa budaya itu adalah ruh bangsa. Kalau budaya sudah rusak oleh korupsi, maka yang rusak bukan hanya seninya, tapi juga akhlak dan masa depan generasi penerusnya,” pungkasnya. (L)

















