Yudhie Haryono
Presidium Forum Negarawan
Suarademokrasi, Jakarta – Konsensus kita adalah negara pancasila. Apa itu? Negara yang secara penuh merealisasikan nilai-nilai periketuhanan, perikemanusiaan, perikesatuan, perikegotong royongan dan perikeadilan sosial. Dus, secara ideal, kita tak punya komunisme, asosialisme, amoralisme, mayorokrasi-minirokrasi, dan neoliberalisme.
Sayangnya, ekonom-politisi-pengusaha kita banyak yang berkata, “neoliberalisme itu jawaban dari segala hal.” Tetapi, apa pertanyaannya? Sebab fakta-faktanya: keadaan makin jauh dari klaim dan teori mereka. Lagian, mereka sudah terlalu lama politiking sehingga tidak lagi mampu membedakan mana opini dan mana kasunyatan!
Tahukah kalian bahwa kejahatan terbesar sebuah rezim bukan pada seberapa besar harta rampokannya dan seberapa hancur negara ini olehnya, tapi yang paling besar adalah mewariskan tradisi perampokan itu ke generasi berikut: anak dan rezim bentukannya.
Karenanya, pelan dan pasti, kerja merumuskan dan membukukan pancasila di wilayah praksis adalah keharusan. Ini projek menambal ruang kosong. Terutama sejak reformasi. Ya. Sejak reformasi, tafsir pancasila berhenti. Limbo: yang lama sekarat, yang baru tak menguat.
Akhirnya, bangunan ipoleksosbudhankam kita kini dan ke masa depan menjadi poco-poco. Bahkan muter-muter membusuk. Terkutuk. Tak ada dentuman. Tak melahirkan kemartabatan negara. Tak menampilkan kejelasan visi, peta jalan, dan haluan yang adekuat. Tak menghadirkan kesentosaan. Menjauhkan kesejahteraan. Mengalpakan perlindungan, kecerdasan dan ketertiban.
Di mana saja tak terbangun keandalan tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera. Setiap saat, kapal republik dibajak dan dibelokkan arahnya. Nyungsep. Kecerdasan publik dilumpuhkan kerumunan dan kepremanan politik, perwakilan bermutu disisihkan keterpilihan semu, pemerintahan hukum dilumpuhkan kerakusan famili kekuasaan.
Padahal, jauh hari lalu, pengertian demokrasi Pancasila sudah sangat baik disampaikan Presiden Soeharto pada tanggal 16 Juni 1967 yang berpandangan: “Demokrasi Pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintregasikan dengan sila-sila lainnya. Hal ini berarti bahwa dalam menggunakan hak-hak demokrasi harus selalu disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan agama masing-masing, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, harus menjamin dan mempersatukan bangsa dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Pancasila berpangkaltolak dari paham kekeluargaan dan gotong royong (1978).”
Jelas, bukan gotong-nyolong. Tapi kini kok tiap hari kita disuguhi perampokan lokal yang tidak tak terhentikan? Ribuan pejabat ditangkap KPK tak menyurutkan elite baru untuk bertobat. Aneh bukan?
Jauh hari lalu, proklamator Hatta (1969) juga sudah menyampaikan bahwa ekonomi pancasila itu memiliki tiga sumber, yaitu Islam, Sosialisme dan budaya Indonesia. Dus, ekonomi Pancasila dirumuskan sebagai “ekonomi yang mendasarkan diri pada nilai-nilai Pancasila yang campuran serta hibrida: dari, untuk, dan oleh semua rakyat.”
Karenanya, ekonomi Pancasila, menghendaki tiga tahap pembahasan. Pertama, pembahasan ontologis, yang menjawab pondasi. Kedua, pembahasan epistemologis yang menjawab pertanyaan bagaimana memahaminya dan bagaimana cara kerjanya. Ketiga, pembahasan aksiologis yang mempertanyakan hasil atau kondisi ideal yang dihasilkan oleh proses pembentukannya.
Jelas bukan konglomerasi. Apalagi oligarki. Tapi kok kini tiap hari kita disuguhi pola dan sistem jahat, rakus dan berlipat? Kemiskinan dan ketimpangan jadi takdir. Tanpa malu mereka memasifikasi harta dan mengintensifikasi kapital. Aneh bukan?
Melawan tradisi kejahatan itu semua, kita harus kerjakan 5 logika pancasila (panca dharma). Yaitu rekonstitusi, rekapitalisasi, nasionalisasi, refinansialisasi dan resoverenitas. Inilah cara kita menjadi patriot pancasila: menegakkan daulat warga dan negara.
Di atas segalanya, semoga pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto segera merealisasikan negara pancasila. (L)