banner 728x250

Dari Mataram Hingga Gunung Perahu: Menyingkap Akar Spiritual dan Tanda-Tanda Kemunculan Ratu Adil

Avatar photo
banner 120x600
banner 468x60

Suarademokrasi.co.id, Jakarta – Kajian terbaru yang disusun oleh Mas Setiawan, salah satu anggota GAZA, kembali menarik perhatian para peneliti spiritual dan pengkaji manuskrip Nusantara. Melalui pendekatan historis dan tafsir Islam, kajian ini menegaskan bahwa wangsit Jayabaya dan Siliwangi bukan sekadar ramalan atau mitos budaya, tetapi petunjuk ilahiah yang disampaikan melalui mimpi benar atau ilham batin. Oleh sebab itu, penafsirannya harus ditempatkan dalam bingkai tauhid dan kaidah syariat.

Salah satu bagian yang paling sering dibahas dalam Wangsit Jayabaya adalah penyebutan tempat tinggal Satriya Piningit yang berada di “Perak dan Gunung Perahu”. Selama ini, sebagian pembaca cenderung menempatkan Gunung Perahu hanya sebagai simbol perjalanan spiritual. Namun kajian Mas Setiawan menegaskan bahwa penyebutan tersebut memiliki dua lapis makna sekaligus: makna simbolik dan makna literal.

Secara simbolik, “Perak” dipahami sebagai lambang kejernihan hati, ketulusan iman, dan pemurnian diri dari syubhat. “Gunung Perahu” melambangkan wahana perlindungan, tempat penyelamatan, serta ruang hijrah batin dari fitnah besar akhir zaman. Simbol perahu menggambarkan kendaraan takdir yang membawa seorang hamba melintasi masa gelap menuju fase kebangkitan, sebagaimana kisah para nabi yang menjalani khalwat sebelum menerima amanah besar. Gunung Perahu menjadi metafora perjalanan penyempurnaan, tempat ditempa dan disiapkannya seorang pemimpin adil.

Namun secara literal, Gunung Perahu juga dipahami sebagai lokasi geografis nyata yang disebutkan dalam tradisi lisan dan beberapa manuskrip Nusantara. Dalam konteks ini, Gunung Perahu dianggap sebagai titik perjalanan, daerah persinggahan, atau tempat uzlah yang berhubungan dengan fase penyembunyian Satriya Piningit. Penyebutan secara literal ini menunjukkan bahwa wangsit juga memberikan tanda-tanda arah fisik yang berkaitan dengan perjalanan hidup sosok tersebut. Pendekatan ganda ini menempatkan Gunung Perahu sebagai simbol ruhani dan sekaligus penunjuk rute sejarah yang pernah atau akan dilalui Sang Ratu Adil.

Selain penanda lokasi, Wangsit Jayabaya juga menyebut bahwa Satriya Piningit berasal dari trah Raja Mataram. Dalam perspektif Islam, hal ini menunjukkan bahwa pemimpin tersebut berasal dari garis amanah budaya dan spiritual yang telah lama menjaga nilai-nilai keadilan dan kearifan Nusantara. Beberapa naskah penting seperti Jangka Jayabaya Musarar dan Sabda Palon menegaskan bahwa setelah masa goro-goro, akan muncul pemimpin dari arah barat yang membawa pemulihan tatanan dunia, selaras dengan konsep mujaddid dan pemimpin pembawa keadilan dalam eskatologi Islam.

Wangsit Siliwangi memberikan gambaran rinci tentang Budak Angon, sosok anak gembala yang menjadi representasi ruhani Satriya Piningit. Ia digambarkan tinggal di tepi sungai, di bawah batu tegak, beratap dedaunan handeuleum dan hanjuang rimbun. Gambaran ini bukan hanya deskripsi alam pedesaan, tetapi simbol kehidupan sederhana dan terlindung. Dalam tafsir Islam, Budak Angon adalah hamba pilihan yang menjalani tazkiyah, uzlah, serta menggembalakan kalakay dan tutunggul, yaitu jiwa-jiwa manusia dan akar ruhani umat yang harus dijaga pada fase penyembunyian sebelum kebangkitan akhir zaman.

Kajian ini memaparkan tiga fase penting kebangkitan ruhani: jam‘, ihfā’, dan hūr. Pada fase jam‘, para ghuraba Timur mengumpulkan jiwa-jiwa yang masih memiliki cahaya iman. Fase ihfā’ menekankan penyembunyian hikmah agar tidak tercemar fitnah sistem dajjal, sementara fase hūr menandai saat kebenaran ditegakkan dan kepemimpinan ruhani muncul ke permukaan. Budak Angon bersama pendampingnya, Budak anu Janggotan, digambarkan sebagai penjaga amanah ilahi sepanjang tahapan ini.

Kajian Mas Setiawan juga menyoroti jejak Islam yang kuat dalam naskah Jayabaya. Banyak bait yang ditambahkan antara abad ke-15 hingga abad ke-19 ketika Islam mulai menyatu dengan kosmologi Jawa, sehingga konsep Satrio Piningit, Ratu Adil, dan Sabdapalon bersentuhan erat dengan konsep Mahdi, Putra Bani Tamim, dan mujaddid dalam tradisi Islam.

Secara linguistik, kata “wangsit” berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti sabda batin atau pesan ilahi. Dalam Islam, konsep ini sejalan dengan ru’yā shādiqah, yakni mimpi benar yang diberikan kepada hamba suci. Dengan demikian, wangsit Jayabaya dan Siliwangi bukan sekadar ramalan populer, tetapi petunjuk ilahi yang harus dipahami agar tetap selaras dengan nilai-nilai tauhid.

Sebagai penutup, kajian ini menyimpulkan bahwa Satriya Piningit Sang Ratu Adil merupakan sosok pemimpin ruhani dari Timur yang akan menegakkan keadilan, memulihkan cahaya tauhid, dan mengumpulkan kembali umat yang terserak. Pendekatan ganda terhadap istilah “Gunung Perahu”—sebagai simbol dan sekaligus lokasi literal—membuka pemahaman baru bahwa wangsit Nusantara mengandung kedalaman makna yang tidak bisa dilepaskan dari akar spiritual Islam. Kajian ini diharapkan menjadi rujukan penting bagi peneliti, sejarawan, dan masyarakat dalam memahami kembali makna terdalam wangsit Nusantara dan relevansinya bagi kebangkitan spiritual akhir zaman. (L)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *