banner 728x250

Kerongkongan Emas Hanya Untuk Kaum Aristokrasi, Pelaku UKM Pasar Barito Di Singkirkan Jakarta Milik Siapa?

Avatar photo
banner 120x600
banner 468x60

Suarademokrasi.co.id, Jakarta, 14 Oktober 2025 Keberadaan Pasar Barito secara historis telah eksis sejak tahun 1979, ketika Kota Jakarta masih dalam tahap pembangunan menuju kota metropolitan. Eksistensi Pasar Barito bukan hanya persoalan transaksi ekonomi pasar rakyat, tetapi lebih dari itu — Pasar Barito telah melekat menjadi bagian dari kehidupan masyarakat urban Jakarta.

Keberpihakan Gubernur Ali Sadikin terhadap para pedagang UKM patut dijadikan teladan.
Sosok gubernur yang nyentrik dan flamboyan tersebut merupakan katalisator dalam
keberpihakan kepada pelaku UKM, sekaligus menunjukkan bagaimana ekonomi berbasis
kerakyatan dapat menjadi tulang punggung ekonomi negara.

Padahal, pada tahun 2022, Pasar
Barito mengalami revitalisasi di masa pemerintahan Gubernur Anies Baswedan dengan
menghabiskan anggaran rakyat sebesar Rp3,5 miliar. Sayangnya, program ini tidak dilanjutkan
oleh Gubernur Pramono Anung dan Rano Karno, sebagaimana janji kampanye mereka untuk
meneruskan program gubernur sebelumnya, terutama keberpihakan terhadap ekonomi
kerakyatan.

Sebaliknya, janji tersebut justru tidak ditepati. Kini, keberadaan Pasar Barito terancam disingkirkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur
Pramono Anung dan Rano Karno. Ketidakberpihakan Pemprov DKI terhadap pelaku UKM tidak hanya terjadi di Pasar Barito.

Pelaku UKM di Pasar Taman Puring tidak memiliki kepastian pembangunan pascakebakaran; pelaku UKM di Nyi Ageng Serang, Mega Kuningan menghadapi
penggusuran dan pengambilalihan oleh pihak swasta; pedagang kaki lima di kawasan Kota Tua
diabaikan; serta terjadi kenaikan harga sewa koperasi pedagang di Pasar Pusat Melawai Blok M
dan kios Pasar Burung Pramuka.

Contoh-contoh tersebut menunjukkan bagaimana
“Kerongkongan Emas,” julukan bagi Gubernur DKI Pramono Anung, hanya berpihak dan dekat kepada kaum aristokrasi, sementara pelaku UKM disingkirkan.

Jadi, sebenarnya kota ini — Jakarta — milik siapa? Susan Blackburn pernah menulis bahwa sejak awal Jakarta dibangun untuk mewujudkan impian para penguasa dan kaum pemilik modal, bukan untuk rakyat kecil.

Kini, kebijakan gubernur terhadap pelaku UKM, termasuk Pasar Barito, justru membenarkan tesis tersebut — Pemprov DKI Jakarta (Pramono Anung) tidak berpihak pada pelaku UKM.— Fahmi Akbar, Kuasa Hukum Pedagang Pasar Barito.

PELAKU UKM SEBAGAIMANA AMANAT KONSTITUSI

Negara ini berdiri bukan untuk melayani segelintir pemilik modal, tetapi untuk menegakkan kedaulatan rakyat atas tanah, ruang, dan alat produksi. Di tengah dominasi korporasi besar dan arus ekonomi kapitalistik yang menyingkirkan yang lemah, pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berdiri
sebagai barisan terdepan ekonomi rakyat.

Mereka bukan sekadar berdagang — mereka bertahan hidup dalam sistem yang semakin timpang. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak setiap
warga negara untuk bekerja dan memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Sementara Pasal 33 ayat (1) menegaskan bahwa perekonomian nasional disusun berdasarkan asas kekeluargaan.
Ayat (2) menyatakan: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Ayat (3) menegaskan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.” Namun hari ini, prinsip kekeluargaan itu semakin tergerus oleh logika kapital yang
menempatkan keuntungan di atas kemanusiaan. Di bawah bayang-bayang proyek “penataan kota” dan
“modernisasi ekonomi,” para pelaku UMKM kerap menjadi korban kebijakan yang berpihak pada modal besar.

Mereka digusur atas nama estetika kota — padahal merekalah yang menjaga sirkulasi ekonomi rakyat di lapisan paling bawah.
“Ketika negara gagal melindungi pelaku UMKM dan justru menyingkirkan mereka atas nama pembangunan, itu bukan sekadar kebijakan keliru — itu pengkhianatan terhadap amanat konstitusi,” tegas Damianus J. Sagala, Kuasa Hukum Pedagang Pasar Barito.

Setiap kios yang dirubuhkan, setiap lapak yang dirobohkan, adalah simbol dari ketimpangan sosial yang terus dibiarkan tumbuh.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor 7
Tahun 2021 secara tegas menempatkan pemerintah sebagai pelindung, pembina, dan pemberdaya.pelaku usaha kecil.

Namun kenyataannya, banyak kebijakan justru berwajah ganda: melindungi modal
besar sambil menyingkirkan ekonomi kerakyatan dari ruang-ruang publik yang menjadi sumber nafkah mereka. Kita harus menyadari, pelaku UMKM bukan sekadar bagian dari ekonomi informal. Mereka
adalah simbol perlawanan rakyat terhadap sistem ekonomi yang meminggirkan. Mereka adalah pekerja mandiri yang menolak tunduk pada dominasi kapital dan birokrasi yang korup. Sudah saatnya pemerintah berhenti memperlakukan rakyat kecil sebagai beban kota.

Kembalikan ekonomi kepada
rakyat, sesuai amanat konstitusi dan semangat Pasal 27 serta Pasal 33 UUD 1945. Bangun sistem ekonomi yang berlandaskan gotong royong, bukan dominasi korporasi. Bangun keadilan sosial, bukan
ketimpangan kelas. Ekonomi kerakyatan adalah tulang punggung bangsa.

PEMINGGIRAN TERHADAP HAK-HAK ATAS EKONOMI ADALAH PELANGGARAN HAM

Penyingkiran Para Pedagang Pasar Barito ke Lenteng Agung tanpa partisipasi dan dialog yang
bermakna adalah penyingkiran ruang hidup hak-hak atas ekonomi. Seolah-olah rakyat cuma dijadikan objek pembangunan. Keberadaan hak atas pekerjaan merupakan salah satu pilar utama dalam menjamin terpenuhinya hak ekonomi, sosial, dan budaya (EKOSOB) warga negara.

Hak ini diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, khususnya: Pasal 11, yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas pemenuhan
kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.” Pasal 38 ayat (1), yang
menyebut: “Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak
atas pekerjaan yang layak.” Pasal 38 ayat (2), yang menegaskan: “Setiap orang berhak dengan
bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan hak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.

”Selain itu, rambu-rambu hukum terkait hak ekonomi, sosial, dan budaya juga ditegaskan
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak Ekosob.
Secara konseptual, hak atas pekerjaan adalah hak setiap warga negara untuk dapat mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas. Hal ini diperkuat dalam Pasal 6 Kovenan Internasional Hak Ekosob, yang berbunyi: Ayat (1):
“Negara Pihak dari Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan termasuk hak semua orang atas
kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara
bebas, dan akan mengambil langkah-langkah yang memadai guna melindungi hak ini.”
Ayat (2): Menegaskan tanggung jawab negara untuk memastikan hak ini dapat diakses secara
adil oleh seluruh warga negara.
Pelanggaran terhadap hak-hak EKOSOB warga negara merupakan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, dan negara berkewajiban untuk mengambil langkah-
langkah hukum dan kebijakan guna melindungi hak ini.

“Pemenuhan hak atas pekerjaan bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga bagian dari penghormatan terhadap martabat dan kesejahteraan setiap warga negara” Tutup Doly P. Daely juga sebagai kuasa hukum.

Dalam bingkai hak asasi manusia, ada dua aktor yang tak bisa dipisahkan: pemangku kewajiban dan pemangku hak. Negara, sebagai pemangku kewajiban, tak boleh sekadar berdiri diam; ia wajib
bertindak dan menuntaskan hak-hak rakyat yang selama ini diabaikan. Rakyat adalah pemangku hak sejati—hak mereka harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi, bukan dijadikan alat legitimasi kekuasaan.

Kekuasaan negara bukan hak istimewa bagi birokrat atau elit yang duduk di menara kaca.
Kekuasaan hanyalah mandat dari rakyat—amanat yang harus dipakai untuk melayani rakyat,
bukan untuk memperkaya segelintir orang atau memperkuat mesin birokrasi yang menindas. Setiap kebijakan, dari pusat hingga Pemprov DKI Jakarta, harus berpusat pada rakyat.

Rakyat bukan objek kebijakan, melainkan sumber kekuatan dan penggerak utama setiap keputusan negara. Berangkat dari situ kami Solidaritas Usaha Rakyat Aliansi Barito Tolak Otoriter (Suara Barito) menuntut dan menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Tolak Penggusuran Pasar Barito dan Penyingkiran Ruang Ekonomi Kerakyatan
Hentikan rencana pemindahan paksa pedagang Pasar Barito ke Lenteng Agung. Lindungi hak atas pekerjaan dan ruang ekonomi rakyat yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi negara.
2. Kembalikan Prioritas Ekonomi Kerakyatan Penuhi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB) Sesuai Amanat Konstitusi. Pastikan kebijakan
pemerintah berpihak pada pelaku UMKM, pedagang kecil, berbasis ekonomi kerakyatan.  (L)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *