Suarademokrasi.co.id, Jakarta – Dalam kajian terbaru yang disusun oleh Mas Setiawan, salah satu anggota GAZA, muncul tafsir mendalam mengenai wangsit Jayabaya dan Siliwangi yang selama ini dikenal sebagai ramalan Nusantara. Berdasarkan bukti-bukti dan argumentasi historis, kajian ini menegaskan bahwa wangsit tersebut bersumber dari petunjuk ilahi melalui ilham atau mimpi, sehingga penafsirannya perlu disusun ulang dengan kaidah Islam.
Wangsit Jayabaya, tercatat dalam Serat Musarar, mengungkap keberadaan Satriya Piningit Sang Ratu Adil yang disebut tinggal di “Perak dan Gunung Perahu”. Tafsir Islam menekankan bahwa tempat tersebut bukan sekadar lokasi geografis, melainkan simbol komunitas untuk memurnikan tauhid, membersihkan syubhat, dan menjauhkan diri dari fitnah dunia. “Perak” melambangkan kemurnian dan kejernihan hati, sedangkan “Gunung Perahu” melambangkan perlindungan dan penyelamatan dari fitnah besar, selaras dengan prinsip hijrah dalam sejarah Islam dan kisah Ashabul Kahfi.
Selain lokasi, wangsit juga menyebutkan bahwa Satriya Piningit berasal dari trah Raja Mataram, menegaskan bahwa sosok pemimpin ini lahir dari garis keturunan nusantara yang memiliki mandat spiritual untuk menjaga bumi dan menegakkan keadilan. Beberapa naskah, termasuk Jangka Jayabaya Musarar dan Sabda Palon, menegaskan bahwa setelah masa goro-goro, akan muncul seorang pemimpin dari barat yang akan memulihkan tatanan dunia.
Wangsit Siliwangi juga menggambarkan sosok Budak Angon atau anak gembala sebagai representasi ruhani Satriya Piningit. Tempat tinggalnya di tepi sungai, di bawah batu tegak, beratap dedaunan handeuleum dan rimbun hanjuang, melambangkan kehidupan sederhana dan terlindung oleh alam. Dalam tafsir Islam, Budak Angon ini melambangkan hamba pilihan yang menjalani uzlah dan tazkiyah, serta bertugas menggembalakan kalakay dan tutunggul—simbol jiwa-jiwa terserak dan akar ruhani umat yang dijaga dalam fase ihfā’ sebelum kebangkitan akhir zaman.
Lebih jauh, tafsir ini memetakan tiga fase kebangkitan: jam‘, ihfā’, dan hūr. Pada fase jam‘, para Ghuraba Timur mengumpulkan jiwa-jiwa yang masih memiliki nur iman. Fase ihfā’ menekankan penyembunyian hikmah agar tetap murni dan tak tercemar sistem dajjal, sedangkan fase hūr menandakan implementasi kebenaran dan munculnya kepemimpinan ruhani. Budak Angon, bersama pendamping ruhani (Budak anu Janggotan), menjadi simbol penjaga amanah dan pembina kaum ghuroba di masa akhir zaman.
Kajian ini juga menyoroti pengaruh Islam dalam naskah Jayabaya. Penambahan bait-bait yang muncul pada abad ke-15 hingga 19 menunjukkan sinkretisme antara kosmologi Hindu-Buddha lama dan tradisi Islam, termasuk hadis-hadis akhir zaman. Istilah Satrio Piningit, Ratu Adil, dan Sabdapalon muncul sejalan dengan konsep Mahdi, Putra Bani Tamim, dan mujaddid dalam eskatologi Islam.
Dari sudut linguistik, kata “wangsit” berasal dari bahasa Jawa Kuno, yang berarti sabda batin atau pesan ilahi. Dalam tradisi Islam, wangsit dapat dikaitkan dengan ru’yā shādiqah, mimpi benar dari Allah yang membawa petunjuk dan ilmu ladunni kepada jiwa yang suci. Oleh karena itu, wangsit Jayabaya dan Siliwangi bukan sekadar ramalan, tetapi petunjuk ilahi yang perlu ditafsirkan dengan kaidah Islam agar sesuai dengan syariat dan nilai-nilai tauhid.
Kesimpulan dari kajian Mas Setiawan menegaskan bahwa Satriya Piningit Sang Ratu Adil adalah sosok pemimpin ruhani yang muncul dari Timur untuk menegakkan keadilan Ilahi, menjaga umat yang terserak, dan memulihkan cahaya tauhid di tengah kegelapan zaman. Tafsir ini membuka pemahaman baru bahwa wangsit-wangsit Nusantara memiliki akar spiritual dan harus dilihat dalam konteks realitas dan kaidah Islam.
Kajian ini akan menjadi rujukan penting bagi peneliti, sejarawan, dan masyarakat yang ingin memahami makna terdalam dari wangsit Nusantara dan implikasinya bagi kebangkitan spiritual di akhir zaman. (L)

















