banner 728x250

Usut Tuntas Kasus Korupsi APD Covid 19 Tanpa Pandang Bulu

Avatar photo
banner 120x600
banner 468x60

Suarademokrasi, Denpasar – Desakan agar Gede Sumarjaya Linggih (GSL) alias Demer ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) Covid-19 makin menguat.

Hal ini menyusul pernyataan jaksa dalam sidang yang mengungkap bahwa PT Energi Kita Indonesia (PT EKI), tempat Demer sebelumnya menjabat sebagai komisaris, menerima aliran dana negara sebesar Rp 711 miliar, tanpa dokumen sah seperti surat pesanan, izin penyalur alat kesehatan (IPAK), maupun bukti kewajaran harga.

Aktivis anti korupsi I Gede Angastia yang juga pelapor mendesak aparat penegak hukum untuk tidak ragu menetapkan Demer sebagai tersangka.

“Pernyataan jaksa sangat terang. PT EKI menerima uang negara dalam jumlah fantastis tanpa prosedur. Bagaimana mungkin seorang komisaris tidak tahu? Ini uang rakyat, bukan uang pribadi,” tegas Angastia di Denpasar, Minggu (26/5).

Ia mengungkap, berdasarkan Akta Perubahan PT EKI yang tercatat di Ditjen AHU Kemenkumham, Gede Sumarjaya Linggih menjadi komisaris pada tahun 2020. Periode yang bertepatan dengan proyek pengadaan APD skala nasional. Saat itu pula, GSL aktif menjabat sebagai anggota DPR RI Fraksi Golkar, di Komisi VI yang membidangi BUMN, perdagangan, dan industri.

“Komisaris bukan jabatan seremonial. Ia bertanggung jawab secara hukum dan etika terhadap jalannya perusahaan, apalagi jika perusahaan itu mendapat proyek ratusan miliar dari negara,” kata Angastia lagi.

Ia menyoroti konflik kepentingan yang sangat jelas. “Kalau seorang anggota DPR juga komisaris di perusahaan yang tiba-tiba dapat proyek negara tanpa proses yang sah, ini sangat fatal. Potensi penyalahgunaan jabatan terbuka lebar,” tambahnya.

Angastia juga mengungkap kecurigaan bahwa keterlibatan Demer bukan sekadar kebetulan. “Data yang kami pelajari menunjukkan bahwa sebelum tahun 2020, GSL belum menjadi komisaris PT EKI. Tapi saat pandemi datang dan pengadaan APD dirancang, barulah ia masuk ke jajaran komisaris. Kami menduga GSL memanfaatkan posisinya sebagai pejabat publik untuk menekan Kementerian Kesehatan agar PT EKI yang belum memiliki izin resmi ditunjuk langsung sebagai penyedia APD,” paparnya.

Fakta mencurigakan lainnya, kata Angastia, adalah mundurnya GSL dari posisi komisaris pada Juni 2020 dan digantikan oleh anak kandungnya, sebelum akhirnya diganti lagi oleh orang lain.

“Ini pola klasik. Cuci tangan, lepas tangan, lalu angkat tangan. Semua sudah didesain. Ini bukan kebetulan, tapi konspirasi,” ujarnya tajam.

Ia mengingatkan bahwa dalam hukum pidana, pembiaran terhadap korupsi juga dapat dijerat Pasal 55 dan 56 KUHP tentang penyertaan dan pembantuan dalam tindak pidana.

“Kalau direktur bisa diseret, kenapa komisaris yang masuk menjelang proyek justru tidak disentuh? Kalau Demer bilang tidak tahu, itu justru memperkuat dugaan kelalaian berat,” kata Angastia.

Apalagi, kata dia, GSL telah dipanggil dua kali oleh KPK sebagai saksi. Namun Angastia menilai ini belum cukup. “Kita bicara soal uang rakyat yang dirampok secara terang-terangan. Kalau KPK dan Kejagung serius, semua yang duduk di kursi pengambil keputusan harus diperiksa, termasuk GSL,” tegasnya.

Ia juga mengkritik dugaan tarik-ulur antarpenegak hukum. “Memang ada kesepakatan antara KPK dan Kejagung bahwa perkara yang ditangani salah satu lembaga tidak diambil alih yang lain. Tapi ini soal keadilan. Kalau Demer terbukti merangkap jabatan yang melanggar UU dan terlibat dalam alur pengadaan, kenapa tidak ditersangkakan?” tanya Angastia.

Dikonfirmasi, Angastia menyatakan akan memenuhi panggilan ulang dari Kejaksaan Agung pada Selasa, 27 Mei. Ia memastikan laporannya kini sudah ditindaklanjuti dan masuk tahap pendalaman oleh JAMPIDSUS.

“Kita tunggu proses hukumnya. Tapi publik tidak boleh diam. Ini soal integritas pejabat negara yang justru memanfaatkan bencana untuk meraup keuntungan,” tutup Angastia.

Untuk diketahui sebelumnya, dalam sidang Tipikor di Jakarta pada Jumat (16/5) lalu, jaksa mengungkap PT EKI dan PT Permana Putra Mandiri (PT PPM) menerima proyek APD tanpa dokumen lengkap. PT EKI tak punya izin penyalur alat kesehatan (IPAK), serta tidak menyerahkan bukti kewajaran harga.

Dua terdakwa, yakni Dirut PT EKI Satrio Wibowo dan Dirut PT PPM Ahmad Taufik, dituntut atas kerugian negara senilai Rp 319 miliar. Jaksa menyebut Satrio memperkaya diri sebesar Rp 59,9 miliar dan Ahmad Rp 224,1 miliar. (L)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *