Oleh : Supardi Kendi Budihardjo
Ketua FKMTI (Forum Korban Mafia Tanah Indonesia)
Suarademokrasi, Jakarta, 31 Maret 2024 – FKMTI telah lama mengadvokasi sejumlah kasus korban mafia tanah, termasuk apa yang dialami oleh SARUDIN, IBNU RAHMAN, ASILA, SAHLIPIN, SURAHMAN, HARUN ROSID, EDI KOSASI dan M. DAHRIAL. Mereka adalah pemilik tanah yang digusur tanahnya, dijadikan proyek PSN jalan tol Prabumulih Inderalaya.
Awalnya, korban mafia tanah ini ada 25 orang. Namun dalam perjalanannya hanya tersisa 8 orang, selebihnya menyerah dan terpaksa berdamai dengan jaringan mafia, dengan komitmen hanya menerima 20-25 % dari nilai Uang Ganti Rugi (UGR) yang telah dititipkan pengadilan.
Modus operandi mafia ini adalah dengan mencari warga setempat yang dijadikan penggugat, dengan modal selembar kertas surat pernyataan sebagai pemilik tanah. Akhirnya, pihak yang berhak, yang sudah ditetapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah (BPN Setempat) sebagai pemilik tanah yang berhak dengan alas hak Sertifikat Hak Milik (SHM), terpaksa tidak bisa mengambil uang ganti rugi dan harus melayani gugatan di pengadilan.
Dalam perjalanan kasus, banyak pemilik tanah yang tidak kuat untuk menghadapi mafia di pengadilan. Akhirnya, mereka menyerah, berdamai, membuat akta perdamaian dengan penggugat yang sudah dikoordinatori oleh mafia tanah, dan pemilik SHM selaku pihak yang berhak hanya mendapatkan 20-25 % dari nilai uang ganti rugi yang dititipkan di pengadilan. Sisanya menjadi bancakan mafia tanah baik dari pihak swasta, profesional dan oknum pejabat pemerintah.
FKMTI mengadvokasi Sarudin dkk, untuk melawan mafia tanah. Alhamdulilah, di pengadilan tingkat pertama menang. Lanjut di pengadilan Palembang juga menang. puncaknya, di tingkat Kasasi juga menang dengan Putusan Kasasi Nomor: 4605/K/PDT/2023 tanggal 20 Desember 2023, yang amar putusannya menolak Kasasi Para Pemohon Kasasi NURSI’AH BINTI REGUNJUNG, AYU CIK BINTI REGUNJUNG dan ASMAN ASNUM BIN KORDIAN BIN REGUNJUNG.
Dalam tingkat Kasasi inilah, saya tidak bisa mendampingi langsung karena saya ditahan dalam kasus melawan Aguan (Agung Sedayu Group), gembong mafia tanah Indonesia yang merampas tanah saya di Cengkareng. Kemudian, saya percayakan pengurusannya kepada pengacara saya, Advokat Ahmad Khozinudin yang menangani perkaranya secara Pro Bono (gratis). Dengan modal putusan Kasasi inilah, Sahrudin dkk meminta agar Kepala Kantah Prabumulih menerbitkan Surat Rekomendasi untuk mengambil uang ganti rugi.
Namun sangat disayangkan, Kepala Kantah Prabumulih tidak kunjung menerbitkan Surat Rekomendasi dengan dalih adanya gugatan baru nomor : 1/Pdt.G/2024/PN.Pbh. Lalu, Kepala Kantah Prabumulih tidak menerbitkan Surat Rekomendasi merujuk pada Pasal 94 A ayat (4) PP Nomor 39 Tahun 2023 yang merupakan perubahan atas PP Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum.
Dalam Pasal 94 A ayat (4) PP Nomor 39 Tahun 2023 disebutkan:
“Dalam hal pihak yang menuntut penguasaan dan/ atau kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menunjukkan nomor register perkara, uang Ganti Kerugian yang dititipkan di Pengadilan Negeri tidak dapat dibayarkan kepada pihak manapun sebelum ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”
Aturan inilah, yang menghalangi pemilik tanah selaku pihak yang berhak, Sarudin dkk selaku Para Tergugat/Para Terbanding/Para Termohon Kasasi, untuk mengambil uang ganti rugi di Pengadilan, meskipun sudah menang perkara hingga tingkat kasasi. Padahal, telah jelas dalam pertimbangan Putusan Kasasi Nomor: 4605/K/PDT/2023 tanggal 20 Desember 2023, yang amar putusannya menolak Kasasi Para Pemohon Kasasi NURSI’AH BINTI REGUNJUNG, AYU CIK BINTI REGUNJUNG dan ASMAN ASNUM BIN KORDIAN BIN REGUNJUNG, dalam halaman 11 dinyatakan:
“Bahwa Para Penggugat Konvensi/ Para Tergugat Rekonvensi tidak dapat membuktikan objek tanah sengketa adalah sah milik Para Penggugat Konvensi/ Para Tergugat Rekonvensi sedangkan Para Tergugat Konvensi/ Para Penggugat Rekonvensi telah membuktikan alas haknya berdasarkan bukti otentik berupa Sertifikat Hak Milik”
Jadi jelas, revisi PP No 19 tahun 2021 dengan menambahkan Pasal 94 A ayat (4) PP Nomor 39 Tahun 2023, adalah dalam rangka untuk melayani kepentingan mafia tanah. Motifnya, agar mafia tanah bisa melakukan gugatan secara berulang untuk menghalangi para pemilik tanah mengambil uang ganti rugi yang telah dititipkan di pengadilan, hingga akhirnya pemilik tanah menyerah dan terpaksa berbagi dengan mafia tanah dengan hanya memperoleh bagian 20-25 %, sementara sisanya 75-80 % uang ganti rugi yang telah dititipkan di pengadilan menjadi bancakan mafia tanah.
Padahal, sebelum ada revisi PP berdasarkan Pasal 93 PP Nomor 19 Tahun 2021, ditegaskan bahwa:
“Dalam hal Objek Pengadilan Tanah sedang menjadi Objek Perkara di Pengadilan, ganti rugi diambil oleh pihak yang berhak setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap atau putusan perdamaian (dading).”
Semestinya berdasarkan Pasal 93 PP No 19 tahun 2021 Jo putusan Kasasi Nomor 4605/K/PDT/2023 tanggal 20 Desember 2023, Sarudin dkk sudah bisa mendapatkan Surat Rekomendasi dari BPN Prabumulih dan mengambil uang ganti rugi di Pengadilan Negeri Prabumulih. Namun, karena ada revisi PP melalui Pasal 94 A Ayat (4) dan gugatan baru Nomor: 01/Pdt.G/2024/PN.Pbh, Sarudin dkk dikerjai mafia tanah dan tidak bisa mengambil haknya berupa uang ganti rugi karena BPN Prabumulih diduga Pro Mafia Tanah dengan tidak menerbitkan Surat Rekomendasi.
Semestinya, BPN Prabumulih dapat segera menerbitkan Surat Rekomendasi untuk Sarudin dkk, berdasarkan Pasal 93 PP No 19 tahun 2021 Jo putusan Kasasi Nomor 4605/K/PDT/2023 tanggal 20 Desember 2023. Sebab, dalam pertimbangan putusan kasasi tegas dinyatakan bahwa Sarudin dkk adalah pihak yang berhak dengan alas hak bukti kepemilikan tanah berupa Sertifikat Hak Milik (SHM). Apakah, kasus ini menjadi konfirmasi mafia tanah telah mampu memesan produk peraturan dan dapat mengendalikan institusi BPN untuk melayani kepentingan mereka?
Masalah mafia tanah yang memanfaatkan kebijakan dan kewenangan oknum pejabat ini sangat meresahkan masyarakat. Karenanya, saat saya rapat dengan Pak Mahfud MD di Kemenkopolhukam pada tanggal 6 Oktober 2022 silam, diantaranya saya mengusulkan agar dilakukan Restrukturisasi seluruh kebijakan dan peraturan di bidang pertanahan dengan orientasi mengembalikan kedaulatan tanah rakyat Indonesia.
Restrukturisasi kebijakan dan peraturan di bidang pertanahan dilakukan dengan melakukan harmonisasi peraturan, review peraturan, sistematisasi peraturan dan yang paling utama adalah menghapus norma peraturan di bidang pertanahan yang bisa dimanfaatkan oleh mafia tanah untuk menjalankan aksinya, seperti ketentuan Pasal 94 A ayat 4 PP Nomor 39 Tahun 2023.
Tapi sayang pasca pertemuan saya dengan Pak Mahfud MD di Kemenkopolhukam, alih-alih saya mendapatkan apresiasi, justru saya dikriminalisasi. Laporan Agung Sedayu terhadap saya dan istri saya malah naik ke penyidikan, saya dan istri saya ditahan dan akhirnya sampai hari ini saya dan istri saya mendekam di tahanan.
Sebenarnya, Mas AHY selaku Menteri ATR/Kepala BPN yang baru yang berjanji mau menggebuk mafia tanah, melalui kasus Sarudin dkk di Prabumulih ini bisa segera menggebuk mafianya. Para penggugat yang hanya bermodal secarik kertas, oknum BPN yang melayani kepentingan penggugat dan menolak menerbitkan rekomendasi, juga munculnya gugatan baru untuk menghalangi pengambilan uang ganti rugi, patut diduga adalah bagian dari kerja-kerja jaringan mafia tanah yang menyengsarakan rakyat. Jangan sampai, jargon gebuk mafia tanah yang disampaikan Mas Menteri hanya pepesan kosong yang tidak ada nilainya.
Saya sendiri telah mendalami kasus mafia tanah sejak lama, bukan hanya mengadvokasi bahkan saya juga menjadi korban mafia tanah. Meski saya di penjara, namun saya tetap menulis agar semua masalah terkait mafia tanah dapat diketahui oleh segenap rakyat.
Makanya, melalui kunjungan anak saya Ambert, saya menitipkan tulisan ini agar diteruskan kepada pengacara saya Ahmad Khozinudin. Selanjutnya, saya titip amanah agar tulisan ini dapat diviralkan agar dapat menjadi bahan deteksi, antisipasi dan penyelesaian masalah mafia tanah yang menjadi musuh kita bersama. *(LI)